-
Perguruan Tinggi di Lampung Masuk Salah Satu Kampus Terbaik Versi THE WUR 2024
47 menit lalu -
Pilpres 2024, PPP Minta Ganjar Pranowo Gerak Cepat Mendengar Aspirasi Rakyat
36 menit lalu -
Sekda Lepas Kontingen Kota Gunungsitoli Untuk Pesparani Katolik Sumatera Utara II Tahun 2023
24 menit lalu -
Melani Leimena Raih Penghargaan Sebagai Legislator Peduli Pemberdayaan Perempuan dan UMKM
44 menit lalu -
ACE-YS Ajak 130 Anak Muda Asia Ikuti Program Creative Catalyst
45 menit lalu -
Hilang Usai Dikabarkan Jadi Tersangka, Wamentan Cari Keberadaan Menteri Syahrul
42 menit lalu -
Pelatihan Pengolahan Pisang (Tepung, Dodol, Kripik) Di Kota Gunungsitoli
24 menit lalu -
Ganjar Creasi Fasilitasi Milenial Probolinggo Kompetisi Balap Tamiya
51 menit lalu -
Bulu Tangkis Asian Games 2022: Chou Tien Chen Balas Dendam, Jonatan Christie Gugur
50 menit lalu -
Daftar Negara Maju dan Berkembang di Dunia, Indonesia Masuk Daftar yang Mana?
31 menit lalu -
Polri Tetapkan 2 DPO Baru Jaringan Narkoba Fredy Pratama
17 menit lalu -
Wakil Wali Kota Tangsel Pilar Saga Ichsan Terpilih Jadi Ketua Umum Mapancas
13 menit lalu
Cerita Kumpul Kebo di Lingkungan Militer KNIL Masa Penjajahan Belanda, Tentara Dianggap Butuh Dilayani Wanita
JAKARTA - Cerita tentang kumpul kebo atau memiliki hubungan tanpa pernikahan ternyata pernah menghiasi sejarah militer Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) masa pemerintahan Hindia Belanda.
Hal ini terungkap dalam buku 'Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda'. Dalam buku itu dikisahkan seorang serdadu KNIL dibolehkan memiliki nyai atau moentji, yakni sebutan untuk perempuan simpanan di dalam tangsi militer. Setiap usai bertugas, tentara dianggap butuh dilayani oleh seorang perempuan.
Mereka perlu perempuan untuk mengurus pakaian, senjata, makanan, bersih-bersih ruangan, hingga layanan di atas ranjang. Bagi KNIL, praktik pergundikan tersebut tak perlu dilarang karena menguatkan mental tentara.
Jenderal Haga, pemimpin KNIL dalam suratnya kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch Keuchenius pada 1887 menyebut, pelarangan pergundikan justru hanya akan menimbulkan kerugian. Ketidakhadiran para perempuan di tangsi militer justru akan membuat para serdadu mengalami rasa kehilangan yang besar.
Pada tahun 1898, jumlah tentara KNIL di Hindia Belanda sebanyak 42.000 orang. Sebanyak 18.000 orang diantaranya adalah serdadu Eropa dan selebihnya merupakan tentara pribumi. Di dalam tangsi militer, mereka memiliki julukannya sendiri.
Serdadu Eropa berjuluk Jan Fuselier atau tentara bersenjata. Sedangkan serdadu pribumi dipanggil Kromo. Sementara Sarina adalah julukan perempuan yang hidup di dalam tangsi.
Meski praktik pergundikan dibolehkan, KNIL tetap menerapkan persyaratan secara ketat. Seorang calon nyai harus berkelakukan baik, yang itu dibuktikan dengan keterangan pihak berwenang setempat. Bukti kelakukan baik diserahkan serdadu pemohon kepada panglima militer.