-
Frank Lampard Beri Konfirmasi, Fikayo Tomori Bisa Gabung AC Milan
43 menit lalu -
Arsenal Bungkam Newcastle Tiga Gol Tanpa Balas
54 menit lalu -
Perpres Pencegahan Ekstremisme Rawan Disalahgunakan
59 menit lalu -
Tinjau Lokasi Banjir Kalsel di Tengah Guyuran Hujan, Jokowi Sampaikan Duka Cita pada Korban
57 menit lalu -
Hujan Diprakirakan Guyur Sejumlah Wilayah Jakarta Hari Ini
48 menit lalu -
Israel akan Hancurkan Masjid dan Sekolah di Hebron
59 menit lalu -
Jelang Pelantikan Joe Biden, Bagaimana Proses Peralihan Kekuasaan di Gedung Putih?
49 menit lalu -
Malena Costa Tegaskan Tak Pernah Jalin Kisah Cinta dengan Cristiano Ronaldo
41 menit lalu -
Kiper Muda Indonesia Tambah Masa Bakti di Klub Jepang
33 menit lalu -
Pelatih Bali United Sarankan Promosi dan Degradasi Tetap Berlaku di Kompetisi 2021
49 menit lalu -
Tips Cerdas Gunakan Kartu Kredit biar Tak Kebobolan
49 menit lalu -
Resep Bola Udang Asam Manis, Menu Sarapan Lezat untuk Buah Hati Tercinta
47 menit lalu
Gegara Lidah Tajam Macron, Islamofobia Mengakar dan Muslim Prancis Dikorbankan

Tepat setelah Prancis menjadi sasaran serangkaian serangan teroris musim gugur ini, Presiden Emmanuel Macron bertemu dengan para pemimpin Uni Eropa (UE) lainnya. Pertemuan ini dilangsungkan untuk membahas tanggapan blok tersebut terhadap ancaman teror.
Reaksi awal Macron, termasuk janji untuk melindungi hak penerbitan karikatur Nabi Muhammad. Bahkan, proyeksi kartun kontroversial Charlie Hebdo di gedung-gedung publik, dalam apa yang dia serukan untuk membela kebebasan berekspresi di negaranya.
Baca Juga: Nah Lho! Amnesty International Benarkan Prancis Bukan Juaranya Kebebasan Bicara
Serangan tersebut juga memulai pendekatan 'mencari kambing hitam' pejabat Prancis yang agak terburu-buru dan kaum Muslimmenjadi sasarannya. Para kritikus mengatakan, pemerintah Macron mengeksploitasi serentetan kekerasan untuk meningkatkan sikap anti-Muslimnya yang kontroversial.
Andreas Krieg, pengamat dari School of Security di Institute for Middle Eastern Studies, Royal College of Defense Studies di Kings College London, mengatakan, Prancis di bawah pemerintahan Macron memang menerapkan kebijakan yang keras terhadap Muslim dan ini membuat umat Muslim di negara tersebut terasing.
"Di bawah Macron, Prancis telah mengambil langkah kuat melawan Islam dan Islamisme di bawah panji toleransi dan liberalisme," ucap Krieg, seperti dilansir Anadolu Agency.
"Kebijakan imigrasi Prancis yang didasarkan pada asimilasi daripada integrasi, berarti bahwa Muslim dipaksa untuk berasimilasi dengan arus utama sekuler Prancis yang memiliki sedikit toleransi terhadap keyakinan non-sekuler lainnya," sambungnya.
Pendirian ini menyebabkan keterasingan dan ketidakamanan identitas di antara sebagian Muslim, yang menurutnya, adalah akar penyebab ekstremisme.
Sementara itu, cendekiawan Muslim seperti Khaled A. Beydoun, profesor Hukum di Sekolah Hukum Universitas Negeri Wayne dan penulis American Islamophobia: Understanding the Roots and Rise of Fear, melihat posisi Macron sebagai penyangkalan dari kepercayaan yang dipegang teguh.
"Alih-alih cenderung pada ketidakadilan sistemik dan membingkai pembunuhan mengerikan Samuel Paty sebagai penyimpangan, Macron memanfaatkan kelemahan Prancis dan mengakar Islamofobia untuk melepaskan tingkat baru kebencian terhadap Muslim Prancis," kata Beydoun.
"Macron meremehkan Islam, yang memicu kekerasan terhadap Muslim di Prancis. Perpecahan meradang, alih-alih menggunakan tempat bertenggernya untuk memperbaiki dan menjebak pembunuhan Paty apa adanya: tindakan keji satu orang, bukan enam juta pria dan wanita Prancis," ungkapnya.
Penulis: Redaksi
Editor: Muhammad Syahrianto
Foto: REUTERS/Eric Gaillard