-
PPKM Diperpanjang, Pakar Lebih Setuju Lockdown Diterapkan
48 menit lalu -
10.240 Unit Vaksin Covid-19 Tiba di Kota Malang
40 menit lalu -
Sandi Pastikan UMKM Parekraf Mudah Dapat Bantuan Permodalan
59 menit lalu -
Roman Abramovic Buka Suara Terkait Pemecatan Frank Lampard
25 menit lalu -
Gunung Es Terbesar di Dunia Tabrak Dasar Laut Dangkal
21 menit lalu -
Blak-blakan, Eks Orang Dalam Sebut Boeing 737 Max Berpotensi Jadi Tragedi di Masa Depan
51 menit lalu -
Vinales Ragu Peran Rossi di MotoGP 2021 Bakal Berubah
34 menit lalu -
Terima Hadiah Mie Instan, Atlet Denmark Ucapkan Doa untuk Anthony Sinisuka Ginting
50 menit lalu -
Frank Lampard Dipecat saat Istri Tengah Mengandung
40 menit lalu -
Dinkes Lebak Targetkan 4.020 Nakes Segera Divaksin
56 menit lalu -
Gary Neville: Thomas Tuchel Tak Akan Tahan Lama di Chelsea
52 menit lalu -
Anak Emas, Ucapan Perpisahan Bos Chelsea ke Lampard Menyayat Hati
35 menit lalu
0
Gustra dan Aridus Terbitkan Buku Merespons Work From Home

Difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, penerbitan kedua buku mereka juga dibarengi dengan pameran foto milik Gustra di Kantor Dinas Kebudayaan setempat, 10-12 November 2020. Tidak kurang dari 100 karya fotografi milik Gustra yang dipamerkan. Menurut pria asal Banjar Belaluan Sadmerta, Denpasar tersebut, pameran ini sebagai bentuk respons kondisi di tengah pandemi, di mana sebagian besar masyarakat harus menjalani work from home atau bekerja dari rumah. Termasuk para fotografer yang biasanya menangkap momen di lapangan, kini juga banyak yang bekerja dari rumah. "Merespons work from home, saya mencoba mengumpulkan karya-karya lama yang bertema Denpasar. Dikumpulkan kemudian dipamerkan dan dijadikan buku kumpulan foto," ungkap Gustra.
Gustra mengaku, sesungguhnya hal ini dilakukan untuk menginspirasi para fotografer, agar tetap kreatif meski kerja dari rumah. Jika memiliki studio sendiri, mungkin bisa melakukan aktivitas memotret konsep still life. Sedangkan yang tidak punya studio, ia menyarankan mengumpulkan karya-karya foto selama ini kemudian mengadakan pameran foto virtual.
"Nah kalau yang tidak punya studio, mungkin bisa kumpulkan karya, kelompokkan, lalu buat pameran virtual. Dari pameran secara virtual itu, tidak menutup kemungkinan adanya interaksi yang secara tidak langsung bisa saja terjadi transaksi secara online. Jadi biar tidak putus asa. Tidak bisa motret ya tidak masalah," kata pria kelahiran 1958 ini.
Dari 100 karya yang ditampilkan, sebagian besar merupakan foto hasil karya dari tahun 2011 hingga sebelum pandemi. Karya yang ditampilkan mulai dari seni budaya Bali, tokoh-tokoh inspiratif Bali, potret kerukunan beragama di Bali, dan lain-lain. Sekitar 10 foto merupakan potret saat Bali mendapat kelonggaran beraktivitas alias new normal, yang digunakan sebagai perbandingan dalam buku dan pameran foto itu. Beberapa foto yang diambil adalah geliat UMKM di Bali yang tetap semangat berusaha meski harus menerapkankan protokol kesehatan.
Menurut Gustra, saat memotret selama pandemi, ada kekuatan ekspresi yang hilang. Padahal ekspresi merupakan kekuatan sebuah foto. Kini, ekspresi tersebut harus 'terhalang' oleh masker dan face shield. "Kesulitan kita memotret saat ini adalah menangkap ekspresi. Padahal kekuatan fotografi ada pada ekspresi seperti gerak mata, bibir, gesture tubuh. Tapi kadang-kadang unik juga, pada situasi tertentu, orang menari pakai masker, unik juga kelihatannya. Tapi kalau terus-terusan kita potret menari pakai face shield dan masker, lama-lama jadi biasa kesannya," katanya.
Ekspresi adalah kejadian beberapa detik yang berhasil diabadikan oleh fotografer. Dalam situasi seperti ini, fotografer tentu tidak bisa lagi mengandalkan ekspresi dalam memotret. Sehingga harus mencari kekuatan moment dankomposisi. "Harus mencari kekuatan lain, selain ekspresi," imbuh Gustra.
Sementara buku 'Obrolan Bale Banjar' merupakan catatan tulisan dari I Made Sudira atau yang lebih dikenal Aridus. Dia sendiri merupakan mantan jurnalis salah satu media di Bali. Rubrik Obrolan Bale Banjar telah diasuh sejak tahun 1983 hingga Maret 2020. Ada ribuan tulisan yang dimiliki, namun yang berhasil dihimpun dalam buku tersebut adalah yang masih tersimpan dalam piranti laptopnya. *ind
Gustra mengaku, sesungguhnya hal ini dilakukan untuk menginspirasi para fotografer, agar tetap kreatif meski kerja dari rumah. Jika memiliki studio sendiri, mungkin bisa melakukan aktivitas memotret konsep still life. Sedangkan yang tidak punya studio, ia menyarankan mengumpulkan karya-karya foto selama ini kemudian mengadakan pameran foto virtual.
"Nah kalau yang tidak punya studio, mungkin bisa kumpulkan karya, kelompokkan, lalu buat pameran virtual. Dari pameran secara virtual itu, tidak menutup kemungkinan adanya interaksi yang secara tidak langsung bisa saja terjadi transaksi secara online. Jadi biar tidak putus asa. Tidak bisa motret ya tidak masalah," kata pria kelahiran 1958 ini.
Dari 100 karya yang ditampilkan, sebagian besar merupakan foto hasil karya dari tahun 2011 hingga sebelum pandemi. Karya yang ditampilkan mulai dari seni budaya Bali, tokoh-tokoh inspiratif Bali, potret kerukunan beragama di Bali, dan lain-lain. Sekitar 10 foto merupakan potret saat Bali mendapat kelonggaran beraktivitas alias new normal, yang digunakan sebagai perbandingan dalam buku dan pameran foto itu. Beberapa foto yang diambil adalah geliat UMKM di Bali yang tetap semangat berusaha meski harus menerapkankan protokol kesehatan.
Menurut Gustra, saat memotret selama pandemi, ada kekuatan ekspresi yang hilang. Padahal ekspresi merupakan kekuatan sebuah foto. Kini, ekspresi tersebut harus 'terhalang' oleh masker dan face shield. "Kesulitan kita memotret saat ini adalah menangkap ekspresi. Padahal kekuatan fotografi ada pada ekspresi seperti gerak mata, bibir, gesture tubuh. Tapi kadang-kadang unik juga, pada situasi tertentu, orang menari pakai masker, unik juga kelihatannya. Tapi kalau terus-terusan kita potret menari pakai face shield dan masker, lama-lama jadi biasa kesannya," katanya.
Ekspresi adalah kejadian beberapa detik yang berhasil diabadikan oleh fotografer. Dalam situasi seperti ini, fotografer tentu tidak bisa lagi mengandalkan ekspresi dalam memotret. Sehingga harus mencari kekuatan moment dankomposisi. "Harus mencari kekuatan lain, selain ekspresi," imbuh Gustra.
Sementara buku 'Obrolan Bale Banjar' merupakan catatan tulisan dari I Made Sudira atau yang lebih dikenal Aridus. Dia sendiri merupakan mantan jurnalis salah satu media di Bali. Rubrik Obrolan Bale Banjar telah diasuh sejak tahun 1983 hingga Maret 2020. Ada ribuan tulisan yang dimiliki, namun yang berhasil dihimpun dalam buku tersebut adalah yang masih tersimpan dalam piranti laptopnya. *ind
Sumber: Nusabali
Berita Terkait
Berita Populer Dari Nusabali