-
Masa Pelaporan SPT Pajak, Sri Mulyani Peringatkan Anak Buah Tak Main-Main dengan Suap
51 menit lalu -
Belanja Jorjoran, PSS Sleman Ogah Disamakan dengan Klub Eropa
54 menit lalu -
Sri Mulyani Minta Masyarakat Laporkan Kasus Suap Pajak, Ini Caranya
46 menit lalu -
Ada 1-2 Pemain Timnas Indonesia U-23 Berhenti Latihan karena Sakit, Shin Tae-yong Marah
38 menit lalu -
Begini Modus Suap Miliaran Rupiah Pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu
47 menit lalu -
Ayus Sabyan dan Ririe Fairus Sepakat Berpisah Baik-Baik
44 menit lalu -
Pesan Menko Luhut: Pejabat Tidak Boleh Sombong
44 menit lalu -
Dana Bansos Covid-19 Digunakan untuk Judi, Kades di Sumsel Terancam Hukuman Mati
44 menit lalu -
Saat Ghea Youbi Klaim Dirinya Gemesin
27 menit lalu -
KKP Sebut Sertifikasi untuk Kesejahteraan Masyarakat Pesisir, Bukan Menyulitkan
59 menit lalu -
RI Tak Bisa Buka Sendiri Pintu bagi Turisme
55 menit lalu -
Microsoft Teams Hadirkan Dukungan Enkripsi End-to-End
27 menit lalu
0
Oxford akan Perdalam Studi Resistensi Antibiotik

LONDON -- Universitas Oxford Inggris telah menerima sumbangan sebesar 100 juta pound sterling atau sekitar Rp 2 triliun untuk meneliti resistensi yang meningkat terhadap antibiotik. Hal itu diumumkan oleh Universitas pada Selasa (19/1) waktu setempat.
Sumbangan dari perusahaan kimia multinasional asal Inggris, Ineos, menjadi salah satu suntikan dana terbesar yang diterima Oxford sepanjang sejarah kampus.
Dana tersebut akan digunakan untuk membuat lembaga baru yang berfokus memerangi fenomena resistensi antimikroba (AMR) yang berkembang. AMR disebabkan oleh meningkatnya paparan obat-obatan yang mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri pada hewan dan manusia.
Menurut catatan Universitas Oxford, peningkatan resistensi antibiotik telah menyebabkan 1,5 juta kematian lebih setiap tahun. Pada tahun 2050, diprediksi akan ada 10 juta kematian karena antibiotik dan obat antimikroba lainnya tidak lagi efektif melawan penyakit umum.
Wakil rektor Oxford Profesor Louise Richardson mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menangani ancaman krisis kesehatan. Utamanya yang ditimbulkan akibat resistensi antibiotik.
"Kami tahu pasti ada potensi tinggi untuk pandemi lagi, kami diingatkan berkali-kali, namun kami tidak siap. Kami tahu bahwa pertumbuhan resistensi antibiotik semakin tinggi, sehingga sangat penting bagi kami untuk bertindak," kata dia seperti dikutip dari Malay Mail pada Rabu (20/1).
"Dan dampak dari ketidaksiapan terhadap pandemi, saya pikir memperkuat pentingnya bertindak sebelum terlambat," tambah dia.
Kepala Eksekutif Ineos, Jim Ratcliffe mengatakan kolaborasi antara industri dan akademisi sangatlah penting guna melawan AMR.
"Kami sangat senang dapat bermitra dengan salah satu universitas riset terkemuka dunia, dalam mempercepat kemajuan dan mengatasi tantangan global yang mendesak ini," kata Ratcliffe.
Penemuan penisilin, antibiotik pertama di dunia, dibuat di Oxford dan kemudian menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia. Bekerja sama dengan perusahaan obat Inggris AstraZeneca, tim di Universitas Oxford juga mengembangkan salah satu vaksin pertama yang melindungi dari Covid-19.
"Kegaduhan pandemi memberika banyak pelajaran. Jadi sangat jelas bahwa kita sekarang harus mencari antibiotik baru dengan urgensi yang sama seperti yang kita lakukan untuk vaksin," kata David Sweetnam, penasihat Ineos Oxford Institute.
Berita Terkait- Giliran Vaksin Covid-19 Oxford Inggris Dinyatakan Halal-Aman
- Peneliti dari Oxford Ubah Karbon Jadi Bahan Bakar Jet
- Dokter RSUI: Gunakan Antibiotik dengan Bijak
- In Picture: Laga The Reds dan Setan Merah Berakhir Imbang
- Kali Pertama, Roket Virgin Mencapai Orbit
Sumber: Republika Online
Berita Terkait
Berita Populer Dari Republika Online