-
Semester I 2022, Sucofindo Bukukan Pendapatan Capai Rp 1,2 Triliun
58 menit lalu -
Borneo FC vs Persebaya Surabaya: Bajul Ijo Ogah Gentar, Meski Lawan di Atas Angin
55 menit lalu -
Kena Jambak di Laga Chelsea vs Tottenham Hotspur, Marc Cucurella Kekeh Takkan Potong Rambut
52 menit lalu -
Bonus Timnas U-16, Apresiasi dari Emtek dan Rp1 Miliar dari Presiden Jokowi
33 menit lalu -
Julen Lopetegui Berharap Tanguy Nianzou Sudah Siap Debut
38 menit lalu -
Budiman Bertekad Lanjutkan Momentum Positif Persib Bandung
53 menit lalu -
Resmikan Rumah BUMN Klungkung, Pertamina Angkat Produk Lokal dan Perekonomian Daerah
41 menit lalu -
Wartawan Gadungan Tertangkap Basah Peras Sekolah di Malang
40 menit lalu -
Jelang Turunnya Juknis PPPK 2002, Ada Seruan Ketum Guru Honorer Lulus PG
59 menit lalu -
Borussia Dortmund Dapat Angin Segar Jelang Lawan Werder Bremen
21 menit lalu -
Perbedaan 8 Jenis Kartu Debit BCA Beserta Biaya, Limit, dan Cara Membuatnya
55 menit lalu -
4 WNI di Afsel Harumkan Nama Indonesia, Ini Penghargaan untuk Mereka
37 menit lalu
Pakar Farmasi dari UGM: Kebutuhan Ganja Medis Tidak Mendesak

GURU Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada serta Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D. menjelaskan, ganja medis bisa menjadi alternatif obat apabila pengobatan sebelumnya tidak memberikan respons baik, sehingga penggunaan ganja medis belum menjadi pilihan utama.
"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," kata Zullies.
"Tetapi, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat. Jika benar-benar tidak ada yang mempan, baru ganja medis bisa digunakan, itu pun dengan catatan harus berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas," imbuh dia.
Ia mengatakan, tentu saja masih ada obat lain yang dapat digunakan, tidak hanya ganja medis. Zullies menegaskan, posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik.
"Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," ujar Zullies.
Seperti dilansir dari Antara, ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang tengah ramai diperbincangkan belakangan ini.
Saat disinggung dari sisi regulasi, Zullies berpendapat hal tersebut bisa mengacu pada senyawa morfin, misalnya, yang juga berasal dari tanaman candu/opiat.
"Morfin adalah obat yang legal, dapat diresepkan untuk indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain, seperti nyeri kanker. Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat. Tetapi tanamannya kan tetap ilegal dan masuk ke dalam narkotika golongan 1, karena berpotensi besar untuk disalahgunakan," kata Zullies.
Jadi, lanjut dia, sama dengan ganja, hal yang sama juga bisa diperlakukan demikian.
BACA JUGA:Menkes Izinkan Riset Ganja Medis, Ini Kendala Utamanya
"Untuk itu, perlu diatur kebijakan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, terutama jika sudah mengikuti kaidah riset dan penemuan obat, sampai obat didaftarkan di BPOM. Sementara, tanaman ganjanya tetap tidak bisa legal, karena berpotensi disalahgunakan," jelas Zullies.