-
Tentara Israel Curi dan Ubah Lahan Pertanian Palestina
50 menit lalu -
Hujan Gol, Borussia Monchengladbach Bungkam Dortmund 4-2
55 menit lalu -
PSG vs Montpellier: Mbappe Buat Penampilan ke-100 Neymar Berkesan
40 menit lalu -
Meteorit di Jerman Miliki Karbonat Tertua di Tata Surya
35 menit lalu -
Berkah Mi Instan, Anthony Sinisuka Ginting Lolos ke World Tour Finals 2020
34 menit lalu -
BPKH Buka Dapur Umum bagi Korban Gempa Bumi di Sulawesi Barat
50 menit lalu -
Jakarta Berpotensi Diguyur Hujan Disertai Angin Kencang
44 menit lalu -
Adu Pesona Irina Shayk vs Gemma Atkinson, 2 Model Seksi Mantan Kekasih Cristiano Ronaldo
29 menit lalu -
Kantong PNS Tebal dari Tunjangan Tambahan hingga Gaji ke-13 Full, Cek 5 Faktanya
24 menit lalu -
Kemenkes Akui Vaksinasi Tahap I Belum Optimal Menangkal Covid-19
33 menit lalu -
Hadapi 10 Pemain Montpellier, PSG Menang 4-0
23 menit lalu -
Sri Mulyani Buka-bukaan Utang Rp7 Triliun dari Bank Dunia
33 menit lalu
Seperti Apa Bumi 4,5 Tahun Lalu? Ilmuwan Beri Gambarannya

JAKARTA -- Tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh Paolo Sossi dari ETH melakukan penelitian yang membuat wawasan baru mengenai atmosfer Bumi pada 4,5 miliar tahun lalu. Hasil penelitian itu juga dapat berimpilkasi pada kemungkinan mengenai asal usul kehidupan di Bumi.
Pada 4,5 miliar tahun lalu, tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang planet ini. Alih-alih hutan, gunung, maupun laut yang terlihat oleh manusia saat ini, permukaan Bumi saat itu diyakini tertutup sepenuhnya oleh magma.
Upaya penelitian internasional baru yang dipimpin oleh Paolo Sossi, peneliti senior di ETH Zurich dan NCCR PlanetS, berupaya untuk mengangkat beberapa misteri atmosfer purba bumi. Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Science Advances.
"Empat setengah miliar tahun yang lalu, magma terus-menerus bertukar gas dengan atmosfer di atasnya, udara dan magma pun saling memengaruhi," ujar Sossi, dilansir Phys, Sabtu (28/11).
Guna mempelajari atmosfer purba Bumi yang sangat berbeda dari sekarang, para peneliti membuat magma sendiri di laboratorium. Mereka melakukannya dengan mencampurkan bubuk yang cocok dengan komposisi dari bahan batuan cair yang muncul ketika gunung berapi meletus itu dan memanaskannya.
Sossi mengatakan komposisi bubuk yang seperti mantel membuatnya sulit untuk meleleh, karena itu dibutuhkan suhu yang sangat tinggi sekitar 2.000 derajat celcius.
Diperlukan tungku khusus, yang dipanaskan dengan laser. Di dalamnya para peneliti dapat mengangkat magma dengan membiarkan aliran campuran gas mengalir di sekitarnya. Campuran gas ini adalah kandidat yang masuk akal untuk atmosfer purba pada 4,5 miliar tahun lalu.
Jadi, dengan setiap campuran gas yang mengalir di sekitar sampel, magma menjadi sedikit berbeda. Sossi mengatakan perbedaan utama yang dicari dalam penelitian ini adalah bagaimana besi di dalam magma teroksidasi.
Ketika besi bertemu oksigen, ia teroksidasi dan berubah menjadi apa yang biasa kita kenel sebagai karat. Jadi, ketika campuran gas yang ditiup para ilmuwan di atas magma buatan mengandung banyak oksigen dan besi di dalam magma menjadi lebih teroksidasi.
Tingkat oksidasi besi dalam magma yang didinginkan ini memberi Sossi dan rekan-rekannya sesuatu yang dapat mereka bandingkan dengan bebatuan alami pembentuk mantel Bumi saat ini, yang disebut peridotit. Oksidasi besi dalam batuan ini masih memiliki pengaruh atmosfer purba yang tercetak di dalamnya.
Membandingkan peridotit alami dan peridotit dari laboratorium memberi para ilmuwan petunjuk tentang campuran gas mana yang paling dekat dengan atmosfer purba Bumi. Sossi mengatakan setelah mendingin dari keadaan magma, Bumi muda memiliki atmosfer yang sedikit teroksidasi, dengan karbon dioksida sebagai penyusun utamanya, serta nitrogen dan beberapa air.
Tekanan permukaan juga jauh lebih tinggi, hampir seratus kali lipat dari sekrang dan atmosfer jauh lebih tinggi, karena permukaan yang panas. Karakteristik ini membuatnya lebih mirip dengan atmosfer Venus dibandingkan dengan Bumi saat ini.
Hasil penelitian memiliki dua kesimpulan utama. Pertama adalah bahwa Bumi dan Venus dimulai dengan atmosfer yang sangat mirip, tetapi kemudian kehilangan air karena kedekatannya dengan matahari dan suhu yang lebih tinggi.
Sementara, Bumi tetap menyimpan air, terutama dalam bentuk lautan. Planet manusia ini juga menyerap banyak CO2 dari udara, sehingga mengurangi tingkat CO2 secara signifikan.
Kesimpulan kedua adalah bahwa teori populer tentang munculnya kehidupan di Bumi sekarang tampaknya jauh lebih kecil kemungkinannya. Apa yang disebut 'eksperimen Miller-Urey', di mana sambaran petir berinteraksi dengan gas tertentu, terutama amonia dan metana untuk menciptakan asam amino, bahan penyusun kehidupan akan sulit untuk direalisasikan. Gas yang diperlukan juga disebut tidak cukup melimpah.
- Bumi Ternyata Lebih Dekat dengan Lubang Hitam Bima Sakti
- Ilmuwan Kaji Ulang Temuan Data Molekul Organik di Venus
- Temuan Indikasi Kehidupan di Venus, Apa Salah Pengukuran?
- Inggris dan Prancis Sepakat Hentikan Imigran Ilegal
- Reaksi Dua Sahabat Utama Sesaat Setelah Nabi Muhammad Wafat