-
Bermodal Ponsel, Kendalikan 65 PSK
26 minutes ago -
LVRI Peringati HUT Ke-62
31 minutes ago -
Memandang Kota dari Kubah Masjid
36 minutes ago -
Alexis Sanchez Mengakui Sulit Mencapai Puncak Performa di MU
1 hour ago -
Yellow Vest Serang Alain Finkielkraut
1 hour ago -
Ancam Ibu Muda Waktu Mandi, Karyawan PT. LNK Ini Diserahkan ke Polisi
4 hours ago -
Gak Nyangka! Selain Bangun Masjid, Niat Mulia Atta Halilintar Ini Bisa Bikin Haters Bungkam!
4 hours ago -
Dikabarkan Akan Menikahi Syahrini, Ini 4 Sumber Uang Reino Barack yang Jarang Orang Tahu!
4 hours ago -
Ini yang Harus Dilakukan Gareth Bale, Jika Ingin Dicintai Fans Real Madrid
5 hours ago -
Tak Cuma Cantik, Anggun dan Kaya Raya, Nagita Slavina Juga Hafal Al Quran Juz 30!
5 hours ago -
Bawaslu Temukan Dua Pelanggaran Pidana
5 hours ago -
Kejamnya Mak Vera? Artisnya Disuruh Cuci Celana Dalamnya! Gak Kuat Ingin Bunuh Diri!
5 hours ago
Perang Dagang AS-China Memanas, Pertumbuhan Ekonomi Global Memburuk

JAKARTA - Menurut perkiraan ekonomi terbaru yang dikeluarkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), proyeksi perlambatan global bisa terbukti lebih buruk lagi jika ketegangan perdagangan AS-China meningkat.
Laporan itu juga memeringatkan, rumah tangga Australia bisa menghadapi kenaikan suku bunga dalam waktu dua tahun -tetapi hanya jika pertumbuhan upah meningkat.
OECD turut memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Australia akan melambat, dari 3,1% tahun ini menjadi 2,9% tahun depan, dan 2,6% pada 2020.
Baca Juga: Jack Ma: Perang Dagang Itu Bodoh
Lembaga itu juga memprediksi pertumbuhan global lebih lambat karena ketidakpastian dan ketidakstabilan yang lebih besar, khususnya perang perdagangan AS-China.
Pertumbuhan ekonomi global, sebut laporan itu, akan menurun dari 3,7% menjadi 3,5% pada 2019 dan 2020.
Meskipun pertumbuhannya lamban, upah akan meningkat dan tingkat pengangguran Australia akan turun. Ini akan menghasilkan "pengetatan kebijakan moneter" - dengan kata lain, kenaikan suku bunga - dalam dua tahun, kata laporan itu seperti dikutip ABC.net.id, Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Ketika harga rumah terus jatuh di kota-kota besar dan keuangan semakin ketat, orang Australia akan mengurangi pengeluaran. Dalam kondisi ini, "hutang yang tinggi dari rumah tangga tetap merupakan risiko".
Baca Juga: ASEAN Diminta Waspadai Efek Konflik Perang Dagang AS-China
Pertumbuhan upah seharusnya berlanjut
Laporan itu menunjukkan perlambatan dramatis di China dan / atau koreksi tajam harga rumah bisa mengurangi kekayaan dan konsumsi rumah tangga dan berdampak pada sektor konstruksi.
Ketika ditanya apakah suku bunga yang lebih tinggi akan semakin memperburuk keadaan, kepala ekonom OECD, Laurence Boone, mengatakan organisasi itu hanya memperkirakan perubahan suku bunga jika ekonomi Australia bisa bertahan.
"Perekonomian Australia baik-baik saja. Ini melambat tetapi berjalan dengan baik dan kami tentu tidak mengambil kebijakan moneter untuk memperburuk perlambatan," katanya.
Baca Juga: Perang Dagang dengan AS, Banyak Perusahaan 'Kabur' dari China
"ami pikir bahwa selama dua tahun ke depan - karena upah dan harga benar-benar mulai meningkat - maka kebijakan moneter harus bereaksi dengan sesuai dan tepat waktu untuk itu."
Suku bunga Bank Sentral Australia saat ini mencapai 1,5%.
Tarif dagang AS-China lemahkan pertumbuhan global
Laporan itu menyebutkan dua faktor utama yang menyebabkan ketidakstabilan: ketegangan perdagangan AS-China - yang telah meradang di bawah Presiden AS Donald Trump - dan ketidakpastian geopolitik.
"Meningkatnya ketegangan perdagangan dan ketidakpastian tentang kebijakan perdagangan tetap menjadi sumber risiko kerugian yang signifikan terhadap investasi global, pekerjaan dan standar hidup," kata laporan itu.
Baca Juga: IMF: Perang Dagang AS-China Rugikan Pertumbuhan Ekonomi Global
Pertumbuhan di Amerika Serikat diproyeksikan melambat dari hampir 3% sekarang, menjadi lebih dari 2% pada tahun 2020. Dan tingkat pertumbuhan China saat ini diharapkan melambat perlahan hingga 6% pada tahun 2020.
Namun laporan itu menunjukkan "dampak buruk dari tarif akan naik secara signifikan" jika Amerika Serikat menaikkan tarif impor komoditi dagang senilai USD200 miliar (atau setara Rp 2 kuadriliun) dari China menjadi 25% pada Januari tahun depan, dengan tindakan pembalasan yang diambil oleh China.
Ini akan hampir menggandakan dampak pada PDB (Produk Domestik Bruto) di Amerika Serikat dan China pada 2020 dan 2021, dengan perdagangan dunia menurun lebih dari 0,6%, kata laporan itu.
Dalam lingkungan perdagangan yang genting seperti ini, pembuat kebijakan global harus siaga dan siap bertindak.